Senin, 25 Maret 2013

seejarah nyi endang dharma




Nyi Endang Dharma Ayu dikenal masyarakat Indramayu sebagai perempuan yang berjasa melahirkan daerah Indramayu. Konon dari nama Dharma Ayu Dharmayu dan Dermayu. Lidah Belanda menyebutnya in-Dermayu, dan akhirnya Indramayu. Hingga kini masyarakat memberikan apresiasi yang dalam. Terbukti namanya diabadikan pada beberapa nama gedung atau kelompok, seperti GOR “Dharma Ayu”, Apotek “Darma Ayu”, Aula “Nyi Mas Endang Dharma Ayu” di lingkungan Universitas Wiralodra, dan grup tarling “Endang Dharma” de-ngan pesinden terkanal, Ny. Dadang Darniyah.

Kendati wanita, ketokohannya dalam Babad Dermayu, sebagai sosok penuh nuansa militer, perang dan keperkasaan. Sebuah deskripsi yang menempatkan Endang Dharma mirip Cut Nyak Dien Aceh, bukan Kartini atau Dewi Sartika yang lekat sebagai pemikir, pejuang pendidikan dan emansipasi.

Buku Sejarah Indramayu susunan mantan Bupati H. A. Dasuki (1977) yang kemudian dijadikan pegangan oleh Pemkab Indramayu, menuliskan akhir kehidupannya dalam dua versi. Satu versi dia menceburkan diri
ke Su-ngai Cimanuk, versi lainnya menikah dengan Wiralodra di Pegaden. Buku Dwitunggal Pendiri Dharma Ayu Nagari tulisan H.R. Sutadji K.S. (2003), menyebutnya sebagai mata-mata Kerajaan Cirebon dalam operasi militer mencuri patung sarpa kandaga dari Kerajaan Galuh Kaler Nagari dalam rangka syiar Islam.

Peran perempuan dalam historiografi tradisional Babad Dermayu kurang mendapat tempat seimbang. Silsilah Wiralodra dari pertama hingga ketujuh hanya menonjolkan sosok Wiralodra, notabene laki-laki (suami). Sosok istri kurang diketahui jati dirinya, bahkan digelapkan. Yang jelas, Wiralodra beranak pinak, menurunkan anak-anak dan keturunan yang meneruskan dinasti Wiralodra.

Versi Dasuki
Setelah Cimanuk menjadi pedukuhan yang dibuka Wiralodra, orang berdatangan. Di antaranya Endang Dharma Ayu (yang diidentikkan sebagai Nyi Mas Gandasari). Dia diiringi dua pembantunya, Tana dan Tani. Alasan kedatangan karena tempat iyu subur. Saat itu Wiralodra sedang “pulang kampung” ke Bagelen sehingga izin tinggal diberikan Ki Tinggil.

Tanaman di ladang Endang Dharma tumbuh su-bur. Banyak penduduk datang kepadanya minta nasihat. Ia mengajarkan ilmu bertani. Tak hanya itu, Endang Dharma juga mengajarkan ilmu kanuragan.

Pengajaran ini mengundang kemarahan Pangeran Guru (diidentikkan Arya Dilah, putra Prabu Wikrama Wardana dari Majapahit yang menjadi gubernur di Palembang). Bersama 24 muridnya, khusus dari Palembang, Pangeran Guru mencoba kemampuan Endang Dharma. Endang Dharma menolak tantangan sekelompok orang yang dijuluki Pangeran Selawe. Akhirnya, terjadi perkelahian yang dimenangkan Endang Dharma. Pangeran Guru dan 24 muridnya tewas, lalu dimakamkan di Sindang, kini dikenal dengan nama makam selawe atau 25.

Wiralodra yang dilapori Ki Tinggil, marah dan menangkap Endang Dharma. Terjadilah perkelahian hebat. Selama perkelahian, keduanya menaruh rasa cinta. Kisah selanjutnya muncul dua versi.
Versi pertama, Wiralodra dan Endang Dharma menikah lalu Dharma Ayu diabadikan sebagai nama daerah. Kedua, karena kalah, Endang Dharma menceburkan diri ke Sungai Cimanuk dan minta diabadikan sebagai nama pedukuhan, Dharma Ayu. Kiprah Endang Darma selanjutnya tak terungkap, sedang Wiralodra menurunkan dinasti hingga ke beberapa generasi tanpa disebutkan siapa istrinya.

Misteri kegelapan Endang Darma dimulai sejak awal. Tak terungkap jati diri dan asal-usulnya. Tak terungkap pula kiprahnya sebagai istri Wiralodra. Kalaupun wafat karena bunuh diri (menceburkan ke Cimanuk), sosok perempuan lain yang mendampingi Wiralodra ternyata tak terungkap pula.

Versi Sutadji

Berbeda cerita menurut Sutadji. Nama asli Endang Dharma, menurut sejarawan yang masih keturunan Wiralodra, adalah Siti Maemunah (identik dengan Nyi Mas Gandasari, Nyi Mas Panguragan, Nyi Mas Ratna Gumilang, Ratu Saketi), lahir di Pasai Aceh tahun 1500. Ia adik Fatahillah (Fadillah Kan). Ayahnya Makhdar Ibrahim, cucu dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali sanga yang wafat di Gresik tahun 1419.

Endang Dharma merupakan mata-mata Kesultanan Cirebon dalam syiar Islam. Tugasnya mencuri sarpa kandaga berupa patung ular dari emas untuk melemahkan kekuatan Galuh pada tahun 1521. Lalu ia mencari pasangan untuk tugas itu. Pilihan jatuh kepada Wiralodra. Mendekati Wiralodra, ia menyamar menjadi pendatang ke pedukuhan Cimanuk.

Kiprah Endang Dharma turut mengembangkan Islam bersama Sunan Gunung Djati, baik dalam situasi damai maupun peperangan. Tahun 1471, ia ikut mengembangkan pesantren Ki Gedeng Bungko. Saat pertempuran di Girinata dan Sadomas, ia ikut serta. Begitu pula saat Endang Dharma bertempur melawan Pangeran Nitinagara atau Waduaji dari Pajajaran. Pendeknya, deskripsi Endang Dharma adalah mata-mata cerdik, komandan pasukan yang berani, juru damai yang dihormati, pelaksana syiar agama yang tak kenal lelah, dan pendamping setia suami.

Mengenai perkelahian Endang Dharma dan Wiralodra, setelah “tragedi Pangeran Guru” berakhir dengan bertautnya dua hati, mereka menikah di Pegaden. Meski demikian, Wiralodra tidak bisa membantu Endang Dharma mencuri sarpa kandaga. Wiralodra punya misi berbeda, yakni mempersiapkan Cimanuk menjadi pangkalan angkatan laut Demak untuk menyerang Banten dan Sunda Kalapa. Misi itu dia emban sejak Demak dipimpin Raden Patah, lalu Adipati Yunus, hingga Sultan Trenggono.

Pusara
Sutadji memiliki pendapat berbeda. Sosok Endang Dharma adalah Nyi Mas Gandasari seperti terdapat dalam beberapa sumber babad Cirebon. Mengenai Gandasari ini, dikisahkan mencari pasangan dalam misi mencuri sarpa kandaga. Di Panguragan, ia me-ngadakan sayembara seolah-olah mencari jodoh. Yang dapat mengalahkan kesaktiannya menjadi jodohnya.

Beberapa pendekar mencobanya, seperti Pangeran Rudamala, Dipati Rangkong, Jaka Supetak, Ki Demang Paluamba, Jaka Pekik, Ki Jungjang, Ki Plered, dan lain-lain. Yang dapat menandingi Pangeran Ra-magelung (Jaka Soka). Gandasari lari ke Keraton Pakungwati. Ramagelung menuntut dijadikan suami. Setelah dijelaskan Sunan Gunung Djati tentang misi rahasia, Ramagelung menyadari. Ia pun ikut membantu Gandasari. Gandasari mendapat gelar baru, Nyi Mas Ratna Panguragan.

Menurut Sutadji, pusara Endang Darma terdapat di Bojong Indramayu. Situs yang terdapat di Panguragan Cirebon hanya petilasan saat berkhalwat ketika memasuki arena sayembara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar